top of page

Antara Fleksibilitas dan Kepatuhan: Mengatur Praktik Kesehatan Modern

  • Gambar penulis: Elizabeth Santoso
    Elizabeth Santoso
  • 6 hari yang lalu
  • 2 menit membaca

Perkembangan teknologi digital telah mendorong munculnya model praktik kesehatan fleksibel, di mana tenaga medis dapat memberikan layanan secara mandiri, baik melalui platform on-demand maupun sistem konsultasi daring (telemedicine). Model ini membuka peluang bagi akses layanan yang lebih cepat dan efisien, terutama di wilayah perkotaan dan daerah terpencil. Namun, di balik berbagai manfaatnya, praktik kesehatan fleksibel menghadapi tantangan besar dari sisi legalitas dan etika profesional. 


Dari segi legalitas, kerangka hukum yang mengatur praktik fleksibel masih terus beradaptasi dengan dinamika teknologi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan sejumlah regulasi turunan dari Kementerian Kesehatan telah mulai mengakomodasi layanan digital, namun belum sepenuhnya mengatur batas tanggung jawab, perizinan, dan standar keamanan data bagi tenaga medis yang bekerja secara fleksibel. Misalnya, dalam praktik telekonsultasi, belum ada aturan yang secara rinci membedakan tanggung jawab dokter terhadap pasien daring dibanding pasien yang ditangani langsung di fasilitas kesehatan. 


Selain itu, muncul persoalan mengenai izin praktik lintas wilayah. Dalam konteks layanan digital, seorang dokter di Jakarta dapat melayani pasien di luar provinsi bahkan luar negeri. Situasi ini menimbulkan pertanyaan: di wilayah hukum mana tanggung jawab profesi berlaku? Tanpa pedoman yang jelas, potensi sengketa hukum antara pasien dan tenaga medis bisa meningkat. Pemerintah bersama organisasi profesi perlu menetapkan mekanisme izin lintas yurisdiksi agar praktik fleksibel tetap berada dalam koridor hukum yang pasti. 


Dari sisi etika profesional, praktik fleksibel menghadirkan dilema baru bagi tenaga kesehatan. Prinsip dasar kedokteran seperti kerahasiaan pasien, objektivitas, dan keamanan tindakan medis harus dijaga meskipun layanan dilakukan secara daring atau di luar fasilitas resmi. Tantangannya, interaksi virtual kadang membatasi kemampuan tenaga medis untuk melakukan diagnosis menyeluruh, sehingga keputusan medis berisiko kurang akurat. Oleh karena itu, kode etik digital kedokteran perlu dikembangkan untuk memastikan layanan tetap berlandaskan integritas dan tanggung jawab profesional. 


Di sisi lain, sistem kerja fleksibel juga menimbulkan tantangan terkait batas waktu kerja dan konflik kepentingan. Tenaga medis yang bekerja di berbagai platform atau proyek sering kali menghadapi risiko kelelahan dan potensi benturan kepentingan antara pasien, perusahaan, dan etika profesi. Keseimbangan antara fleksibilitas kerja dan tanggung jawab moral menjadi isu yang semakin penting dalam ekosistem kesehatan modern. 


Namun demikian, tantangan ini bukan alasan untuk menolak perubahan. Justru, hal ini menjadi momentum untuk memperkuat tata kelola dan regulasi etis di sektor kesehatan. Pemerintah, organisasi profesi, dan penyedia layanan digital harus berkolaborasi dalam menciptakan kerangka hukum adaptif yang mengakomodasi inovasi tanpa mengabaikan keselamatan pasien dan integritas profesi. 


Praktik kesehatan fleksibel adalah masa depan industri medis. Dengan panduan hukum yang jelas dan etika profesi yang kokoh, model layanan ini dapat menjadi pilar penting dalam menciptakan sistem kesehatan yang lebih inklusif, efisien, dan berkeadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Komentar


bottom of page